TINJAUAN ASAS KEADILAN DALAM PUTUSAN AKTA PERDAMAIAN
TINJAUAN ASAS KEADILAN DALAM AKTA PERDAMAIAN
Mochamad Firdaos, S.H.I.
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan sosial bermasyarakat interaksi sosial antar individu tidak dapat dihindarkan, oleh karena itu terkadang timbul sengketa perbedaan kepentingan tiap individu manusia. Naluri manusia untuk mempertahankan kepentingannya tidak jarang menimbulkan sengketa yang berkepanjangan, akibatnya tidak jarang para pihak yang bersengketa menyerahkan sengketanya ke pengadilan. Pilihan untuk menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan atau perdamaian berada di tangan para pihak yang bersengketa.
Merespon tingginya volume sengketa yang diajukan ke pengadilan, pada dasarnya peraturan di Indonesia sudah mempunyai landasan hukumnya yaitu Pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian dimodifikasi dalam bentuk PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dimana dijelaskan hakim wajib menganjurkan para pihak yang berperkara untuk menempuh prosedur perdamaian terlebih dahulu. Jika perdamaian tersebut gagal, maka sidang pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Namun, jika perdamaian tersebut berhasil menghasilkan kesepakatan, maka perdamaian tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa.[1]
Kesepakatan yang dibuat dalam bentuk tertulis jika perdamaian tercapai dan ditandatangani kedua belah pihak yang bersengketa lebih dikenal dengan istilah akta perdamaian. Lebih lanjut akta perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam akta tersebut. Oleh karena itu penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien.[2]
Akta perdamaian agar mempunyai kekuatan hukum selanjutnya dituangkan dalam putusan oleh hakim yang menangani perkara tersebut. Pada akta perdamaian melekat kekuatan hukum, hal ini diatur dalam Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR yang meliputi putusan tersebut disamakan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, mempunyai kekuatan eksekutorial, dan terhadap akta perdamaian tidak dapat dibanding ataupun kasasi. Berdasarkan kekuatan hukum tersebut penulis menilai bahwa akta perdamaian merupakan cerminan asas keadilan yaitu prosedural dan substantif. Oleh karena itu penyelesaian perkara melalui akta perdamaian sangat efektif, efisien, segala upaya hukum tertutup, dan dapat langsung dimintakan eksekusi apabila salah satu pihak ingkar memenuhi isi perjanjian tersebut.[3] Berbagai manfaat pada akta perdamaian, rupanya tidak berpengaruh terhadap meningkatnya penyelesaian sengketa melalui sistem perdamaian. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya masyarakat yang mengajukan sengketa di pengadilan tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi.
Berdasarkan realita di atas, maka penulis bermaksud menguraikan permasalahan tersebut dalam sebuah Paper Magang II Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim (PPC) Terpadu Angkatan III Tahun 2019 yang berjudul “Tinjauan Asas Keadilan dalam Akta Perdamaian”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, untuk mengetahui maksud dan tujuan paper ini, maka dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam paper ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana kekuatan hukum akta perdamaian?
- Bagaimana tinjauan asas keadilan dalam akta perdamaian?
PEMBAHASAN
A. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian
Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan: “Perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.”[4] Berdasarkan Pasal 1851-1864 KUH Perdata, Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg kesepakatan perdamaian atau akta perdamaian akan memiliki kekuatan hukum apabila memenuhi beberapa syarat meliputi:
- Kesepakatan/akta perdamaian mengakhiri perkara
Kesepakatan/akta perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam akta tersebut. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan maka akta perdamaian tersebut mengandung cacat formil.
- Kesepakatan/akta perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1851 KUH Perdata dan Pasal 11 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2016 “Persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis”. Berdasarkan Pasal tersebut tidak dibenarkan kesepakatan perdamaian yang disampaikan secara lisan.
- Pihak yang membuat kesepakatan perjanjian adalah orang yang memiliki kekuasaan
Hal ini didasarkan pada Pasal 1852 “Untuk dapat mengadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu”. Berdasarkan Pasal tersebut seseorang yang dapat membuat kesepakatan perdamaian adalah orang yang mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in judicio.[5]
Kesepakatan perdamaian/akta perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. Kekuatan hukum pada akta perdamaian diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR. Menurut Pasal 1858 KUH Perdata dijelaskan bahwa, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Lebih lanjut kekuatan dalam akta perdamaian dilekatkan langsung oleh undang-undang, segera setelah diucapkan langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.[6]
Adapun selain mempunyai kekuatan hukum tetap, akta perdamaian juga mempunyai kekuatan eksekutorial. Penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Kalimat terakhir pada Pasal tersebut menjelaskan bahwa akta perdamaian:
- berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela, pihak yang dirugikan dapat meminta eksekusi pada Pengadilan, atas permintaan itu ketua pengadilan menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.
. Hal tersebut sesuai dengan amar akta perdamaian yang menguhukum para pihak untuk menaati perjanjuan perdamaian yang mereka sepakati. Jadi dalam putusan tercantum amar condemnatoir, sehingga apabila putusan tidak ditaati dan dipenuhi secara sukarela dapat dipaksakan pemenuhannya melalui ekekusi oleh Pengadilan.
Kekuatan hukum putusan perdamaian yang selanjutnya terhadap putusan tersebut tidak dapat dimintakan banding. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR yang menjelaskan bahwa akta perdamaian tidak dapat dibanding dengan kata lain tertutup upaya hukum (banding dan kasasi) terhadap putusn akta perdamaian. Hal ini pun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1038/K/Sip/1973, bahwa terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan banding. Adapun alasannya dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 975/K/Sip/1973 yang menerangkan, berdasarkan Pasal 154 RBG/130 HIR, putusan perdamaian atau acte van vergelijk merupakan suatu putusan yang tertinggi tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016, akta perdamaian tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.[7]
B. Tinjauan Asas Keadilan dalam Akta Perdamaian
Keadilan menjadi salah satu nilai dasar hidup manusia dan merupakan masalah klasik yang tidak pernah terpecahkan secara tuntas. Tidak adanya kesesuaian dalam mengartikan keadilan mendorong orang berusaha mendefinisikan sesuai latar belakang pengetahuan dan pengalamannya masing-masing. Keadilan diartikan sebagai pembagian yang konstan dan terus menerus untuk memberikan hak setiap orang. Keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang sendiri.
Hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif melebihi norma-norma lain. Hukum memang seharusnya mengandung nilai keadilan karena ada norma-norma hukum yang tidak mengandung nilai keadilan.
Perwujudan keadilan menjadi misi pencapaian lembaga yudikatif pada setiap perkara yang diputuskan. Dalam proses hukum di pengadilan terkandung keadilan substansi dan prosedural. Keadilan substansi tercemin pada isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim). Sedangkan keadilan prosedural terkait dengan administrasi perkara yang menjelaskan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum bagi para pihak (penggugat/tergugat/pihak yang berkepentingan) dalam setiap tahapan proses acara di pengadilan.[8]
Lebih lanjut, Maxim Justice delay is justice denied (keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak) merefleksikan arti penting hukum acara. Perihal bagaimana pengadilan berproses yang sesungguhnya merupakan ranah administrasi menjadi sangat penting untuk terwujudnya keadilan substantif. Hal ini yang menjadi gambaran proses penyelesaian perkara pada Pengadilan. Banyak proses peradilan yang penyelesaiannya begitu lama dikarenakan para pihak saling mempertahankan kepentingannya masing-masing. Lamanya proses penyelesaian perkara pada dasarnya merugikan kepentingan para pihak sendiri mulai dari biaya, waktu dan tenaga. Hal demikian menyebabkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sulit terwujud, selain itu tujuan dari hukum yang meliputi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum pun menjadi tertunda.
Eksistensi Pasal 130 HIR/154 RBg dan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 yang mewajibkan hakim mengusahakan perdamaian pada setiap pemeriksaan pada dasarnya untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan serta tujuan dari hukum dapat dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan. Hanya saja kenyataannya proses perdamaian tersebut masih belum maksimal, masyarakat tetap mengabaikan perdamaian dan melanjutkan sengketanya hingga akhir melalui proses persidangan. Penyelesaian perkara melalui kesepakatan perdamaian merupakan sistem penyelesaian yang efektif dan efisien.
Kesepakatan/akta perdamaian meskipun mengikat dan menjadi undang-undang bagi pihak yang bersepakata, namun dalam prosesnya akta perdamain harus dituangkan dalam putusan pengadilan. Dituangkannya akta perdamaian dalam putusan agar kesepakatan diantara para pihak mempunyai kekuatan hukum yang kuat, sehingga hak dan kewajiban para pihak memiliki legitimasi hukum. Apabila ditinjau lebih luas akta perdamaian memenuhi asas keadilan baik substansial maupun prosedural.
Keadilan substansial dan prosedural pada akta perdamaian dapat ditinjau dari amar putusannya. Isi dari amar akta perdamaian adalah menghukum para pihak untuk tunduk dan taat menepati serta melaksanakan isi persetujuan yang telah disepakati serta membebankan biaya perkara ditanggung renteng oleh para pihak. Berdasarkan amar tersebut keadilan substansial yang terkandung didalamnya adalah formulasi isi dari perjanjian yang disepakati oleh para pihak merupakan kehendak masing-masing sehingga kesepakatan perdamaian mengandung itikad baik dari para pihak.[9] Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.[10] Lebih lanjut pada kesepakatan perdamaian para pihak ditempatkan dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, sehingga para pihak wajib menghormati hak dan kewajibannya satu sama lain.
Keadilan prosedural pada akta perdamaian dapat ditinjau dari proses penyelesaian perkara. Akta perdamaian dijatuhkan setelah tercapai dan dibuatkan dalam akta perdamaian, sehingga proses penyelesaian perkara dapat dilalui dengan proses yang efektif dan efisien. Keadilan yang diberikan tidak akan bermakna manakala lahir dari proses yang lambat, rumit dan berbelit-belit. Oleh karena itu melalui akta perdamaian asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dapat terwujud. Pada akta perdamaian dikarenakan segala upaya hukum tertutup dan mempunyai langsung memiliki kekuatan eksekutorial sehingga para pihak dapat langsung merasakan keadilan dalam proses administrasi di pengadilan. [11] Ketaatan terhadap prosedur akan menghasilkan keadilan prosedural. Keadilan substansial akan sia-sia jika keadilan prosedural tidak diindahkan. Keadilan substansial juga akan sulit tercapai jika keadilan prosedural tidak diperhatikan. Oleh karena itu keadilan prosedural sama pentingnya keadilan substansial.[12] Dalam hal tertentu demi mewujudkan putusan hakim yang progresif maka keadilan prosedural bisa saja dikesampingkan jika keadilan prosedural ini menghalang-halangi tercapainya keadilan substansial, sedangkan pada akta perdamaian kedua keadilan yang dimaksud dapat terlaksana dan berjalan beriringan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang dilekatkan langsung oleh Undang-undang. Adapun kekuatan hukum pada akta perdamaian yang dituangkan dalam putusan pengadilan memiliki memiliki tiga kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Dalam bukunya M. Yahya Harahap kekuatan hukum putusan akta perdamaian ada tiga yaitu:
- Kekuatannya disamakan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap;
- Mempunyai kekuatan eksekutorial;
- Tertutup segala upaya hukum.
Pada akta perdamaian juga mengandung asas keadilan yang meliputi keadilan substansial dan prosedural. Keadilan substansial dapat ditinjau dari amar putusannya yang menghukum para pihak untuk tunduk dan taat pada kesepakatan yang dibuat oleh para pihak. Keadilan prosedural ditinjau dari proses penyelesaian perkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
B. Saran
- Pendidikan dan pelatihan hakim mediator, agar para hakim mempunyai kemampuan khusus dalam mendamaikan para pihak, sehingga penyelesaian perkara melalui perdamaian dapat tercapai, hal ini juga dapat menekan tingginya volume upaya hukum karena para pihak membuat kesepakatan untuk dirinya sendiri sehingga keadilan dapat langsung dirasakan pencari keadilan.
- Penyelesaian perkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat terwujud salah satunya melalui proses perdamaian. Oleh karena itu untuk mewujudkan sistem peradilan yang efektif dan efisien, hakim wajib mengusahakan perdamaian terus ditingkatkan pada setiap pemeriksaan persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Mahkamah Agung, Buku II mengenai Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Jakarta: Mahkamah Agung, 2014.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media Grup, 2016.
B. Perundang-undangan
Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en Madura (R.Bg)
C. Artikel
http://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/viewFile/91/75
D. Jurnal
Pratiwi, Cekli Setya, Kegagalan Mewujudkan Keadilan Prosedural Dan Substansial Dalam Putusan Hakim Tinggi Perkara Tindak Pidana Psikotropika Nomor: 25/Pid/B/2010/Pt Sby Malang: Jurnal Humanity Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2013.
[1] Pasal 130 H.I.R
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, hal. 289
[3] Ibid, hal. 291.
[4] Pasal 1851 KUH Perdata
[5] Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarat: Prenadamedia Group, 2016, hal. 162
[6] Mahkamah Agung, Buku II mengenai Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Jakarta: Mahkamah Agung, 2014, hal. 123
[7] Ibid, hal. 281
[8] http://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/viewFile/91/75, diakses hari Rabu,13 Maret 2019, Pukul. 10.15 WIB
[9] Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., hal. 166
[10] Pasal 1338 KUH Perdata
[11] M. Yahya Harahap, hal. 291
[12] Cekli Setya Pratiwi, Kegagalan Mewujudkan Keadilan Prosedural Dan Substansial Dalam Putusan Hakim Tinggi Perkara Tindak Pidana Psikotropika Nomor: 25/Pid/B/2010/Pt Sby, Jurnal Humanity, hal. 173.