ANALISA SEMA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG EKSEKUSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN SAAT IKRAR TALAK :
ANALISA SEMA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG EKSEKUSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN SAAT IKRAR TALAK : TINJAUAN YURIDIS DAN FILOSOFIS
Alfajar Nugraha, S.HI., M.H.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Makna mitsaqaan ghaliza yang termaktub pada pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sebuah ikhtisar bahwa perkawinan merupakan hal yang sakral yang padanya harus selalu terjaga tujuan akan keberadaannya, yakni tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun perkawinan tidak selamanya dapat dipertahankan. Pasangan suami isteri yang telah membina rumah tangga karena sebab sesuatu hal yang tidak dapat dihindari kemungkinan bisa berpisah. Perpisahan inilah yang dinamakan dengan perceraian.
Suatu perceraian akan membawa dampak perbuatan hukum yang tentunya akan membawa pula akibat-akibat hukum tertentu, Sesuai dengan ketentuan Pasal 144 Kompilasi Hukum Islam (KHI) perceraian dapat terjadi karena adanya talak dari suami atau gugatan perceraian yang dilakukan oleh isteri, perceraian tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar putusan hakim dalam sidang Pengadilan Agama. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isterinya. Kewajiban dari mantan suami yang berupa mut’ah, nafkah iddah dan nafkah untuk anak-anak. Dalam hal ini walaupun tidak adanya suatu tuntutan dari isteri majelis hakim secara ex officio dapat menghukum mantan suami membayar kepada mantan isteri berupa nafkah mut’ah, nafkah iddah apabila isteri tidak nusyuz dan nafkah anak.
Hukuman yang diberikan oleh majelis hakim tentang akibat hukum perceraian tersebut langsung termuat menjadi satu dalam putusan perceraian dengan putusan yang bersifat condemnatoir yang padanya dapat diajukan eksekusi serta adanya dictum bahwa pelaksanaan eksekusi akibat hukum perceraian dilaksanakan sebelum ikrar talak kecuali adanya persetujuan mantan isteri. Namun dalam hal ini majelis hakim sering kali berpendapat untuk tujuan melindungi hak-hak mantan isteri tersebut maka dapat dimungkinkan pelaksanaannya sebelum ikrar talak yang dilakukan oleh suami walaupun tidak adanya dictum bahwa pelaksanaan eksekusi akibat hukum perceraian dilaksanakan sebelum ikrar talak dan tidak adanya persetujuan mantan isteri sehingga putusnya perkawinan memang benar-benar selesai dan tidak menimbulkan maslaah di kemudian hari. Namun pertanyaannya apakah hal tersebut berkesesuaian dengan ketentuan yuridis dan serta aspek-aspek lain dalam perceraian dimana akan memperlambat proses perceraian apabila pihak suami belum menunaikan isi putusan tersebut sehingga perkawinan “menggantung” yang mana merugikan pihak mantan isteri. Oleh karena itu disini penulis akan mengkaji dan menganalisis terkait “Eksekusi akibat hukum perceraian saat ikrar talak : tinjauan yuridis dan filosofis”.
B. Rumusan Masalah
- Apa saja akibat hukum perceraian berdasarkan ketentuan perundang-undangan ?
- Bagaimana Analisa SEMA No. 1 Tahun 2017 tentang eksekusi akibat hukum perceraian saat ikrar talak dalam perspektif yuridis dan filosofis ?
Pembahasan
- Akibat Hukum Perceraian
Hukum positif diciptakan sebagai bentuk perlindungan hak kepada seluruh lapisan masyarakat yang ada secara adil dan mempunyai kepastian akan terlindunginya hak serta sebagai pedoman untuk sama-sama menjaga akan hak masing-masing, yang padanya melekat pada setiap ketentuan hukum positif. Hal tersebut pula tidak terlepas dari ketentuan perceraian yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dimana Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVII dijelaskan tentang akibat putusnya perkawinan,
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul;
- Memberi nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
- Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul;
- Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.[1]
Sedangkan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
- Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.[2]
Untuk lebih jelasnya penulis paparan secara rinci dengan uraian sebagai berikut;
1. Akibat Hukum perceraian terhadap anak
Menurut hukum positif yang berlaku meskipun telah terjadi perceraian antara suami dan isteri, kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur tetap melekat sampai dengan anak tersebut dewasa[3]. Mantan suami tetap wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yakni biaya kehidupan dan keperluan pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban tersebut harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut balig dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri. Sedangkan mantan isteri pula tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak dari sisi yang berbeda dari mantan suami yakni keterkaitan pengelolaan akan seluruh pembiayaan dan keperluan anak agar tujuan daripada kewajiban nafkah tersebut dapat di realisasikan.[4]
Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa :
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak- anak mereka sebaik-baiknya;
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.[5]
Berdasarkan Pasal 105 dan Pasal 106 kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa :
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam
Dalam hal terjadinya perceraian :
- Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.[6]
Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam
- Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
- Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban yang tersebut pada Ayat (1).[7]
2. Akibat Hukum perceraian terhadap Nafkah
Nafkah ialah sesuatu yang diberikan seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Terkait dengan nafkah diatur dalam ketentuan pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam dan pasal 34 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.[8]
Sedangkan dalam ketentuan nafkah sebagai akibat hukum perceraian sebagaimana diatur dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terdiri dari beberapa jenis nafkah yang meliputi nafkah anak sebagaimana dijelaskan di atas, nafkah madiyah atau nafkah yang telah terlalaikan oleh suami pada saat berumah tangga, kiswah mut’ah, dan maskan serta nafkah iddah dengan Jumlah nilai mut’ah, nafkah, maskan, dan kiswah selama masa iddah harus memenuhi kebutuhan hidup minimum, berdasarkan kepatutan dan rasa keadilan sesuai ketentuan KHI dan perundang-undangan yang berlaku.[9]
3. Akibat hukum perceraian terhadap harta Bersama
Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Lebih jauh dalam Penjelasan Pasal 37 disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.”[10]
Pembagian harta bersama yang diterapkan berdasarkan ketentuan tersebut diatas mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 97 menentukan bahwa janda atau duda yang cerai ,masing-masing mendapat seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Namun hal tersebut dapat berubah dengan adanya pertimbangan lain, misalnya pihak suami isteri bermaksud memberikan harta bersama tersebut kepada anak-anak mereka.[11]
B. Eksekusi akibat hukum perceraian saat ikrar talak : Tinjauan yuridis dan filosofis
Pelaksanaan ikrar talak harus merujuk kepada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gwejisd) yang pada putusan tersebut terdapat amar yang memberi izin kepada suami untuk menjatuhkan talak satu raj’I melalui pengikraran talak di depan sidang Pengadilan sebagai bentuk eksekusi terhadap putusan cerai yang telah diputuskan.
Pelaksanaan eksekusi ikrar talak memang berbeda dengan eksekusi lainnya karena eksekusi ikrar talak tidak melalui Permohonan eksekusi pada umumnya[12], sebagaimana telah diatur dalam pasal 70 ayat (3) undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan dalam hal eksekusi akibat hukum perceraian secara umum oleh Majelis Hakim mempunyai dua pendapat yang mayoritas Pengadilan Agama menerapkan hal tersebut.
Pendapat pertama adalah membedakan eksekusi terhadap cerai dan eksekui terhadap akibat hukum cerai, dengan pandangan bahwa keterkaitan eksekusi terhadap cerai merupakan sebuah lex specialist dari ketentuan eksekusi dimana sifat putusan yang bersifat konstitutif serta tidak melalui permohonan melainkan ditentukan langsung oleh Pengadilan untuk mengeksekusi daripada penyaksian ikrar, sedangkan dalam hal akibat hukum cerai merupakan sebuah eksekusi yang padanya berlaku secara generalist sehingga apabila tidak dapat dilakukan secara sukarela dapat melalui permohonan eksekusi melalui Pengadilan sebagai alat negara dengan cara paksa, sehingga apabila eksekusi secara sukarela tidak dapat dilakukan pada saat ikrar talak maka tidak menghalangi daripada eksekusi terhadap perceraiannya tersebut kecuali dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat bahwa akibat hukum perceraian dibayar sebelum pengucapan ikrar talak, Yang padanya hanya dapat di ikrarkan apabila akibat hukum perceraian dibayarkan atau ada persetujuan dari mantan isteri[13]
Pendapat kedua adalah pandangan yang bersifat filosofis akan penerapan “rasa keadilan dan kepastian hukum” dimana maksud dari pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak mantan isteri dan perlindungan terhadap anak walaupun tidak dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat bahwa akibat hukum perceraian dibayar sebelum pengucapan ikrar talak, pelaksanaannya tetap dilaksanakan sebelum ikrar talak, agar putusnya perkawinan memang benar-benar selesai dan tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Pada pendapat yang kedua ini majelis hakim berpandangan bahwa hal inilah yang cenderung dirasa adil dan mempunyai kepastian hukum akan penerapan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 undang-undang Nomor 1 tahun 1974, dimana melekatnya ketentuan baik dicantumkan pada amar atau tidak.
Kesimpulan dari dua pendapat diatas adalah bahwa pendapat pertama cenderung bersifat yuridis normatif dengan mengkaji keterkaitan dueprocess dan undueprocess dalam keberlakuan hukum acara sebagai guidance dalam pelaksanaan proses Peradilan, semua ketentuan tersebut telah diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada alasan untuk mengenyampingkannya. Apabila masih tidak sesuai maka merupakan unprofessional conduct oleh Majelis Hakim yang merugikan salah satu pihak yang ada. Sedangkan pendapat kedua cenderung bersifat filosofis dari ketentuan adanya akibat hukum perceraian yakni pada pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni sebagai bentuk perlindungan hak terhadap mantan isteri dan terhadap anak dimana dari eksekusi akibat hukum perceraian yang dilaksanakan sebelum penyaksian ikrar talak walaupun tidak dicantumkan dalam amar putusan, padanya melekat ketentuan tersebut dengan tujuan melindungi daripada hak-hak mantan isteri dari terlalaikannya sebuah hak yang apabila tidak diselesaikan sebelum penyaksian ikrar talak akan memperpanjang masalah kedua belah pihak dan akan merugikan pihak mantan isteri untuk membayar biaya eksekusi yang tidak sedikit serta memerlukan waktu yang cukup lama. Sehingga pelaksanaan eksekusi akibat hukum cerai dipandang memenuhi “rasa keadilan dan kepastian” kepada kedua belah pihak.
Dari kesimpulan dua pendapat diatas penulis memberikan pendapat bahwa dalam hal tidak dicantumkannya diktum pembayaran dilaksanakan sebelum ikrar talak dengan cara mengambil jalan tengah dan mengharmonisasikan kedua pendapat tersebut dimana dalam hal ini penulis berpendapat bahwa dalam eksekusi penyaksian ikrar talak yang di utamakan adalah aspek filosofis pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni keterkaitan perlindungan akan hak isteri dan anak sehingga Majelis Hakim mengupayakan proses pemenuhan akan hak-hak dari akibat hukum perceraian, namun disini memiliki batasan waktu yang mengacu kepada aspek yuridis normatif yakni “6 (enam) bulan setelah ditetapkannya sidang penyaksian ikrar talak”, dipenuhi atau tidak dari hak-hak isteri dan anak dari akibat hukum perceraian tersebut dalam batas waktu 6 (enam) bulan Majelis Hakim harus mengikrarkan sehingga tidak bertentangan dengan ketentuan hukum acara. Yang mana apabila hal tersebut terjadi mantan isteri tetap dapat mengajukan eksekusi akan putusan dari akibat hukum perceraian tersebut.
Pendapat diatas menurut penulis merupakan hal yang paling sesuai berdasarkan aspek yuridis dan aspek filosofis, sebagai penerapan keadilan yang dipertanggung jawabkan kepada “Tuhan yang maha esa” dari aspek filosofis.
Penutup
- Kesimpulan
- Bahwa ketentuan akan akibat hukum dari perceraian diatur dalam pasal pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 dan 37 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang meliputi mut’ah, nafkah iddah, Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul, Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun, dan pembagian harta bersama selama perkawinan;
- Hasil Analisa penulis hal yang lebih sesuai berdasar pada aspek yuridis dan filosofis adalah dengan cara mengambil jalan tengah yakni dalam eksekusi penyaksian ikrar talak yang di utamakan adalah aspek filosofis pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 41 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni keterkaitan perlindungan akan hak isteri dan anak sehingga Majelis Hakim mengupayakan proses pemenuhan akan hak-hak dari akibat hukum perceraian, namun disini memiliki batasan waktu yang mengacu kepada aspek yuridis normatif yakni “6 (enam) bulan setelah ditetapkannya sidang penyaksian ikrar talak”, dipenuhi atau tidak dari hak-hak isteri dan anak dari akibat hukum perceraian tersebut dalam batas waktu 6 (enam) bulan Majelis Hakim harus mengikrarkan sehingga tidak bertentangan dengan ketentuan hukum acara.
- Saran
Oleh karena terjadi perbedaan yang sangat mendasar pada proses acara Eksekusi ikrar talak yang dilakukan atas putusan pengadilan maka sebaiknya segera direspon melalui surat edaran Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan acara yang berlaku sehingga tidak terjadi praktek beracara di pengadilan yang berbeda anatra pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lainnya (disparitas).
DAFTAR PUSTAKA
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenada Media Group, 2008),
Fatimah, dkk, Pemenuhan Hak Isteri dan Anak Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian : Studi Kasus di Pengadilan Agama Banjarmasin, (Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat, Vol 4, No. 7 tahun 2014),
Susylawati, Eka , dkk, Pelaksanaan Putusan Nafkah Isteri Pasca Cerai Talak di Pengadilan Agama Pamekasan (Jurnal Al Ihkam, Vol 8, No. 2, Desember 2013)
Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2006 (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2007)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
kompilasi Hukum Islam.
SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
[1] Lihat Bab XVII Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
[2] Lihat Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
[3] Fatimah, dkk, Pemenuhan Hak Isteri dan Anak Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian : Studi Kasus di Pengadilan Agama Banjarmasin, (Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Lambung Mangkurat, Vol 4, No. 7 tahun 2014), h. 562
[4] Fatimah, dkk, Pemenuhan Hak Isteri, ….h. 563
[5] Lihat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[6] Lihat Pasal 105 kompilasi Hukum Islam.
[7] Lihat Pasal 106 kompilasi Hukum Islam.
[8] Eka Susylawati, dkk, Pelaksanaan Putusan Nafkah Isteri Pasca Cerai Talak di Pengadilan Agama Pamekasan (Jurnal Al Ihkam, Vol 8, No. 2, Desember 2013) h. 377
[9] Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2006 (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2007) hlm. XII
[10] Lihat Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[11] Lihat Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
[12] Wujud dari eksekusi riil (nyata) antara lain eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR), eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu (pasal 225 HIR) dan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap kepada orang yang dikalahkan. Eksekusi riil yang berkait dengan pemenuhan nafkah mantan istri adalah eksekusi yang menghukum pembayaran sejumlah uang. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 314.
[13] SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.